Ibu, Tak Ingin Aku Menjadi Alqamahmu
dakwatuna.com – Sebuah kisah yang maha dahsyat pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, tentang seorang anak dan ibunya. Cukup haru jika kita mengiktibari dengan seksama. Di mana dalam kisah tersebut diceritakan bahwa ada seorang laki-laki bernama Alqamah, sejatinya dia adalah pribadi yang rajin beribadah dan menghamba padaNya. Namun tatkala dia akan menemui ajalnya, dia kesulitan melafazkan kalimah thayyibah. Sampai akhirnya sang istri menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW.
Hingga akhirnya Rasulullah Muhammad SAW pun mengutus Bilal, Ali, Salman dan Ammar RA untuk datang ke rumah Alqamah. Di sana mereka menyaksikan betapa Alqamah dalam keadaan yang memprihatinkan. Mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang yang taat pada Allah dan Rasulnya itu kesulitan dalam melafalkan kalimat “La ilaaha illallah”. Lidah Al-Qomah seperti terkunci ketika akan melafalkan kalimat itu. Sungguh hal yang mengherankan, seorang yang ahli ibadah kesulitan mengucapkan lafaz itu di penghujung sakaratul mautnya. Merekapun khawatir dengan kondisi yang mereka saksikan, hingga Bilal pun menyampaikan kabar ini kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah pun bertanya, “Apakah Alqamah masih memiliki ayah dan ibu?”
“Ayahnya sudah meninggal. Tapi dia masih memiliki seorang ibu yang sudah renta,” jawab Bilal apa adanya.
“Temuilah ibu Alqamah. Aku titip salam untuknya. Jika dia masih mampu berjalan dia bisa menghadapku, jika tidak bisa maka biarkan aku yang akan ke sana.” Rasulullah kepada Bilal.
Bilal pun menyambangi Ibu Alqamah dan menyampaikan pesan Rasulullah kepada Ibu tersebut.
Meski sedikit tertatih-tatih dengan tongkat sebagai penyangga, Ibu Alqamah pun menemui Rasulullah. Dia memberikan salam dan langsung disambut Rasulullah. Lalu Rasulullah menanyakan kepada Ibunda Alqamah tentang sebenarnya apa yang terjadi selama hidup Alqamah sehingga ia tampak kesulitan melafazkan “La ilaaha illallah’, padahal dia seorang hamba yang rajin dan taat beribadah.
Ibunda Alqamah pun menjawab pertanyaan Rasulullah tersebut. Beliau menjelaskan bahwa Alqamah pernah menyakitinya. Suatu ketika Alqamah lebih mengutamakan istrinya daripada dia sebagai ibundanya. Ia melakukan itu karena untuk menuruti suatu keinginan sang istri. Rasulullah pun mengangguk dan mengerti kalau memang inilah penyebab kenapa kondisi Alqamah seperti itu.
Mengetahui hal itu, Rasulullah lantas menyuruh Bilal untuk untuk mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya untuk membakar tubuh Alqamah.
Melihat itu semua, sang Ibu berkata dengan terisak-isak “Ya Rasulullah, kenapa engkau mau membakar putraku di depan mataku? Bagaimana perasaanku nanti?”
Rasulullah menjelaskan bahwa sejatinya siksa Allah nanti di akhirat akan lebih berat. Segala amal yang dilakukannya selama ini tidak dapat diterima oleh Allah karena terhalang karena kemarahan dari Ibunda Alqamah tersebut. Seolah kebaikan selama ini tak bisa menutupi dan menghindarkan dari api neraka. Beliau menyampaikan kepada Ibunda Alqamah jika memang mau melihat anaknya selamat dari api neraka, maka sang Ibu harus memaafkan dengan ketulusan jiwa dan keikhlasan hati atas khilaf Alqamah kala itu.
“Baiklah Rasulullah, aku akan memaafkan putraku. Aku sungguh tak sanggup mengetahui jika anakku akan masuk neraka karena diriku.” Kata Ibunda Alqamah dengan kesungguhan. Saat itu juga Al Qomah melafazkan kalimah “La ilaaha illallah” dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Demikian kisah yang begitu menyentuh hati kita, boleh jadi kita pernah melakukan hal yang sama kepada Ibunda kita. Selayaknya sebagai manusia mungkin memang tak bisa lepas dari khilaf, namun melalui tulisan ini saya hanya berpesan kepada diri ini sendiri, dan kepada para sahabat sekalian. Mari kita lebih berbenah lagi dalam “ngajeni” atau bersikap kepada kedua orang tua kita, khususnya kepada Ibu kita. Belajar dari kisah Alqamah tersebut, ada dua hal yang bisa kita ambil ibrahnya.
Pertama adalah betapa pentingnya ridha Ibu dalam kehidupan kita, “Ridhollah fi ridhal walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain” (Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua kemurkaan Allah terletak pada kemarahan kedua orang tua). Seberapa taat kita kepada perintahNya jika kita nodai dengan sikap buruk kita kepada Ibunda meski hanya sepintas, maka seolah akan menjadi nila setitik yang merusak air susu sebelanga. Namun cobalah kita menghayati peran dan apa yang telah diberikan Ibunda kepada kita terlebih dahulu. Ibunda adalah sosok yang telah mengandung kita selama 9 bulan lebih. Memperjuangkan dan mendewasakan kita hingga sedia ini. Jerih payah, keringat, dan darah tak lagi menjadi hal yang langka baginya. Demi kita bisa tumbuh dewasa dengan sehat seperti saat ini. Lantas kalau sudah seperti itu, masihkah kita sudi berlaku dan bersikap menyakiti hati suci Ibunda kita?
Kalau kita lakukan komparasi dengan kehidupan saat ini, bisa jadi selama ini sudah banyak kata “ah”, “cuh”, dan mungkin menolak suruhan orang tua khususnya ibu kita. Kita mungkin sering melihat di sekitar kita ada anak yang dengan lantang berkata kepada Ibundanya, ataupun Na’udzubillah boleh jadi kita sendiri. Atau bahkan kita berani membentak Ibunda kita atau malah menelantarkannya di saat beliau sudah berusia senja? Tentu itu lebih parah ketimbang apa yang dilakukan Alqamah kepada ibundanya. Naudzubillahimindzalik. Akan sangat sedih kalau kita kembali merenungi kisah Alqamah kepada Ibundanya, mungkin dalam kisah itu Alqamah kurang begitu sengaja bersikap seperti itu kepada Ibundanya, karena dia mengutamakan kepentingan istrinya kala itu. Itu pun sudah berakibat fatal dan bisa menyebabkan ia sulit melafazkan kalimat thayyibah saat penghujung usianya. Naudzubillahimindzalik. Bagaimana dengan diri kita, apakah kita sudah bersikap baik kepada Ibunda kita?
Kemudian ibrah yang kedua dari kisah Alqamah itu adalah di saat Ibundanya sedang sakit hati karena pernah diperlakukan sedemikian itu oleh sang anak, Alqamah. Di kala Rasulullah akan membakar hidup-hidup anaknya, sang Ibu tentu mempunyai titik jemu kemarahannya. Ia rela menanggalkan kemarahan dan mengikhlaskannya begitu saja, demi anaknya. Demi agar Rasulullah tidak membakar Alqamah hidup-hidup. Inilah bukti cinta nyata seorang Ibunda kepada sang anak tercinta. Sekalipun suatu ketika beliau disakiti oleh sang anak, Beliau tetap menaruh rindu dan sayang yang mendalam kepada ananda. Boleh jadi kemarahannya itu ya karena wujud kasih sayangnya kepada sang anaknya atau wujud kecemburuan sang Ibu karena sang anak lebih mementingkan orang lain. Lalu, kalau kita sudah melihat betapa sayangnya Ibunda kita kepada kita, masihkah pantas kita berlaku yang menyakiti hati Beliau?
Demikian sedikit tulisan di momen Hari Ibu 22 Desember 2015 kali ini. Semoga bisa menjadi tafakur untuk diri pribadi ini, kalaupun dirasa bermanfaat semoga bisa menjadi nasehat dan pengingat untuk kita semua. Semoga melalui momen hari Ibu ini, kita tak lagi hanya berlaku sopan dan bersikap sayang kepada Beliau lewat kata-kata dan postingan kita di Instagram, Path, Facebook, WordPress ataupun media sosial kita. Hanya mengikuti kewajaran secara umum saja. Namun semoga kita kembali melihat ke belakang seraya berazzam agar kita bisa menjadi anak yang terbaik untuk Ibunda-Ibunda kita. Anak yang benar-benar mengasihi beliau dalam kata, dalam perbuatan, dan dalam hati yang terdalam. Akhirnya kita berharap kepada Allah semoga kita menjadi anak yang shalih/ah untuk kedua orang tua kita, untuk Ibunda tercinta kita.
Selamat Hari Ibu, Semoga tak kan ada lagi Alqamah-Alqamah lain di muka bumi ini. Karena kami tak ingin menjadi Alqamahmu, Duhai Ibunda.
0 komentar:
Posting Komentar